Senin, 13 Desember 2010

fajarMOGSAW

فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu. [QS. Az-Zukhruf: 25]

وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [QS. Al-Baqarah: 39]
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِآيَاتِهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْمُجْرِمُونَ
Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya, tiadalah beruntung orang-orang yang berbuat dosa. [QS. Yunus: 17]
و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ (ح) و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ أَنَّهُ سَمِعَ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَخْطُبُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَكْذِبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ يَكْذِب عَلَيَّ يَلِج النَّارَ
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Ghundar dari Syu’bah (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al Mutsanna dan Ibnu Basysyar keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Manshur dari Rib’i bin Hirasy bahwasanya dia mendengar Ali berkhuthbah, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian mendustakan aku, karena siapa yang mendustakan aku niscaya dia masuk neraka.” [HR. Muslim, Kitab Muqadimah hadits no. 2; juga dalam Shahih Bukhari, kitab Ilmu, no. 103, dari 'Ali bin Al Ja'd dari Syu'bah dari Manshur dari Rib'i bin Hirasy dari 'Ali]
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ جَامِعِ بْنِ شَدَّادٍ عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ لِلزُّبَيْرِ إِنِّي لَا أَسْمَعُكَ تُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا يُحَدِّثُ فُلَانٌ وَفُلَانٌ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أُفَارِقْهُ وَلَكِنْ سَمِعْتُهُ يَقُولُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Telah menceritakan kepada kami Abul Walid berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Jami’ bin Syaddad dari ‘Amir bin ‘Abdullah bin Az Zubair dari Bapaknya berkata, “Aku berkata kepada Az Zubair, “Aku belum pernah mendengar kamu membicarakan sesuatu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana orang-orang lain membicarakannya?” Az Zubair menjawab, “Aku tidak pernah berpisah dengan beliau, aku mendengar beliau mengatakan: “Barangsiapa mendustakan aku maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya di neraka.” [HR. Bukhari Kitab Ilmu no. 104]
Termasuk Al Kaadzibiin (orang-orang yang berdusta) atau Al Mukadzdzibiin (orang-orang yang mendustakan) adalah:
1. Orang-orang yang mendustakan Allah, mendustakan eksistensi Allah. Rukun iman yang pertama adalah beriman kepada Allah.
2. Orang-orang yang mendustakan kebenaran perjumpaan dengan Allah. (Lihat QS. Al-An’am: 31)
3. Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah.
4. Orang-orang yang mendustakan adanya adzab. (Lihat QS. Al-An’am: 66)
5. Orang-orang yang mendustakan adanya malaikat dan apa-apa yang mereka bawa dari Allah. (Lihat QS. Al-Baqarah: 97-98.) Dan termasuk rukun iman adalah beriman kepada malaikat.)
6. Orang-orang yang mendustakan taqdir. Beriman kepada taqdir termasuk rukun iman. Siapa mendustakan taqdir, maka ia tidak termasuk orang beriman.
7. Orang-orang yang mendustakan para Nabi dan Rasul-Rasul Allah dan apa yang mereka bawa dari Allah.
Termasuk al-kadzibin adalah orang-orang yang ketika disampaikan kepadanya suatu perkataan yang benar-benar dari Rasul, atau dia menyampaikan suatu perkataan yang benar-benar dari Rasul lalu dia menganggapnya sebagai kedustaan, maka dia termasuk orang-orang yang mendustakan.
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
Barangsiapa menceritakan hadits dariku, yang mana dia berpendapat bahwa riwayat itu kebohongan, maka dia (perawi) adalah salah satu dari para pembohong. [HR. Muslim, hadits masyhur yang juga diriwayatkan dari Abu Bakar bin Abu Syaibah dari Waki' dari Syu'bah dari al Hakam dari Abdurrahman bin Abu Laila dari Samurah bin Jundab, dan juga diriwayatkan dari Abu Bakar bin Abu Syaibah dari Waki' dari Syu'bah dan Sufyan dari Habib dari Maimun bin Abu Syabib dari al-Mughirah bin Syu'bah]
Beriman kepada Rasul-Rasul Allah adalah termasuk rukun iman. Barangsiapa mendustakan satu saja dari para Rasul, maka dia tidak termasuk orang yang beriman. Termasuk beriman kepada Nabi Muhammad adalah membenarkan segala perkataan beliau. Sungguh beliau itu tidak berkata-kata kecuali berdasarkan wahyu dari Allah.
Termasuk kesempurnaan iman kepada Nabi Muhammad adalah mencintainya lebih dari kita mencintai diri kita dan manusia seluruhnya.
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah dari Abdul ‘Aziz bin Shuhaib dari Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Dan telah menceritakan pula kepada kami Adam berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qotadah dari Anas berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan dari manusia seluruhnya. [HR. Bukhari no. 14 pada Kitab Iman]
Maka sungguh disayangkan apabila ada di zaman sekarang ini orang-orang yang menganggap bahwa mencintai Nabi adalah suatu kesyirikan.
Dan juga sangat disayangkan apabila ada di zaman sekarang ini orang-orang yang terlalu mudah untuk mengingkari hadits dha’if. Mereka menganggap bahwa semua hadits dha’if itu adalah palsu dan dusta.
Di zaman ini telah ada orang-orang yang menyamakan antara hadits-hadits dha’if (lemah) dengan hadits-hadits maudhu` (palsu). Padahal kedua macam hadits ini adalah tidak sama posisinya. Hadits dha’if adalah benar-benar perkataan Rasulullah saaw, akan tetapi periwayatnya atau sanadnya memiliki kelemahan atau mungkin matannya mengandung keganjilan. Sedangkan hadits maudhu` adalah perkataan yang bukan perkataan Rasulullah saaw yang kemudian dikatakan sebagai hadits oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Dengan mengatakan hadits dho’if sebagai hadits palsu, itu sama saja dengan mengatakan perkataan Rasulullah saaw sebagai bukan perkataan Rasulullah saaw. Dengan menolak hadits dho’if, itu sama saja dengan menolak perkataan Rasulullah saaw dan mendustakannya.
Untuk mengetahui dari siapakah atau dari orang bagaimanakah hadits dho’if ini diperoleh, ada baiknya Anda mengingat salah satu kisah Imam Al-Bukhori ketika mencari hadits dari seseorang di suatu daerah. Imam Al-Bukhori selalu menanyakan kepada penduduk di suatu daerah, adakah di daerah itu seseorang yang menghafal sebuah hadits Rasulullah saaw. Suatu hari dikatakan kepada beliau bahwa si fulan itu menghafal suatu hadits dari Rasulullah saaw. Si fulan itu bisa ditemui di tempat penggembalaan ternak. Maka pergilah Imam Bukhari ke tempat yang dimaksud. Diam-diam Imam Bukhori memperhatikan si fulan yang sedang menggembala ternak dari kejauhan. Lalu dilihatlah peristiwa itu, di mana si fulan mencoba menggiring ternaknya dengan menggerak-gerakkan tangannya yang tertengadah seakan ada makanan ternak padanya. Padahal di tangannya tidak ada apa-apa. Hal itu dilakukan hanya untuk mengelabui ternak tersebut agar mau menurut padanya. Melihat peristiwa itu, Imam Bukhori menganggap bahwa orang itu tidak pantas untuk meriwayatkan hadits Rasulullah, karena dia memiliki satu sifat tercela, yaitu bohong. Walau yang dibohongi itu hanyalah seekor hewan, tetapi Imam Bukhori tetap menganggapnya tidak pantas untuk meriwayatkan hadits Rasulullah saaw.
Hal tersebut menjelaskan kepada kita betapa hati-hatinya beliau dalam mengumpulkan hadits. Beliau hanya mengambil hadits dari orang-orang yang memiliki kualitas tertentu. Setelah hadits-hadits itu diambil, barulah beliau klasifikasikan hadits-hadits tersebut. Sehingga apa yang disebut hadits dho’if itu bukan berarti palsu. Hadits dho’if tetaplah hadits, perkataan Rasulullah saaw yang tidak boleh didustakan.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ رَبِيعَةَ قَالَ أَتَيْتُ الْمَسْجِدَ وَالْمُغِيرَةُ أَمِيرُ الْكُوفَةِ قَالَ فَقَالَ الْمُغِيرَةُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami Bapakku telah menceritakan kepada kami Sa’id bin ‘Ubaid telah menceritakan kepada kami Ali bin Rabi’ah dia berkata, “Aku mendatangi masjid sedangkan al-Mughirah, gubernur Kufah. Ia berkata, “Lalu al-Mughirah berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya pendustaan terhadapku tidaklah sama dengan pendustaan terhadap seseorang, barangsiapa mendustakan aku secara sengaja maka biarkan dia mengambil tempat duduknya dari neraka.” [HR. Muslim no. 5]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

7777777